Rabu, 31 Maret 2010

DUA PULUH KAIDAH MEMAHAMI RIBA (I)

Kita mengetahui barang ribawiyah menurut Syaikul Islam adalah:

Barang yang menjadi alat tukar seperti Riyal, Dinar dan Pounds, serta apa saja yang menjadi alat tukar manusia.
Barang-barang yang menjadi makanan yang ditakar atau makanan yang ditimbang dan inilah pendapat yang rojih dalam masalah ini.
Inilah kaidah-kaidah yang harus dipahami dalam permasalahan riba:

KAIDAH PERTAMA

Setiap barang yang jenis dan ilatnya sama maka boleh ditukarkan dengan berdasar pada dua syarat; yaitu sama banyaknya dan tunai.

Berdasarkan perkataan Syaikhul Islam, uang riyal termasuk barang Ribawi. Apabila riyal ditukar dengan riyal (keduanya sama jenis dan ilatnya) maka harus terpenuhi dua syarat: Sama banyak dan tunai.

Contoh:

10 riyal ditukar dengan 10 riyal, 50 riyal ditukar dengan 50 riyal, dan harus tunai dan barangnya ada ditempat (serah terima barang ditempat transaksi). Karena terkadang transaksi secara tunai akan tetapi barangnya tidak ada di tempat. Hal ini terjadi dengan kesepakatan antara keduanya bahwa transaksi tunai tetapi tidak boleh langsung diambil. Seperti perkataan, “Kamu datang 2 jam lagi baru kamu ambil barangnya.” Terkadang juga ada yang penyerahanya ditunda atau tunai akan tetapi barang tidak langsung diambil. Yang benar adalah tunai dan barang langsung diambil.
Tukar menukar daging. Berdasarkan pendapat Syaikul Islam Ibn Taimiyah maka daging termasuk barang ribawi, karena daging adalah makanan yang lazim diukur dengan timbangan. Maka tatkala saling menukar daging onta harus terpenuhi dua syarat; sama banyaknya dan langsung diserah terimakan.
Gula termasuk barang ribawi karena termasuk makanan yang lazim diukur dengan timbangan. Tatkala hendak tukar menukar gula maka wajib terpenuhi kedua syarat di atas.
KAIDAH KEDUA

Setiap barang ribawi yang ilatnya sama namun berbeda jenis barangnya apabila hendak ditukar maka disyaratkan harus tunai atau langsung diserah terimakan.

Contoh:

Riyal ditukar dengan Pounds. ilatnya sama yaitu alat tukar. Maka syarat pertukarannya adalah tunai atau serah terima secara langsung. Adapun kesamaan jumlah maka ini bukan syarat.
Daging onta dengan daging kambing. ilat dari kedua barang ini adalah makanan yang lazimnya diukur dengan timbangan. Jenis dari kedua barang ini berbeda. Maka disyaratkan tunai dan diperbolehkan untuk melebihkan salah satu barang. Karena nabi bersabda, “Apabila jenis barang berbeda, maka juallah sekehendak kalian asalkan tunai.”
Gandum kasar (Sya’ir) dengan gandum halus (Birr). ilatnya sama yaitu makanan yang lazim diukur dengan takaran. Apabila keduanya hendak ditukar maka disyaratkan untuk tunai. Adapun harus sama banyaknya, maka ini bukanlah syarat. Kita diperbolehkan menjualnya sekehendak kita.
KAIDAH KETIGA

Setiap barang ribawi yang ilatnya sama akan tetapi jenis barangnya berbeda dan salah satunya adalah emas atau perak maka tidak ada syarat apapun jika hendak ditukarkan.

Kaidah ini berlaku menurut madzhab Abu Hanifah dan Ahmad. Telah kita ketahui sebelumnya bahwa pendapat madzhab ini marjuh (lemah).

Contoh:

Perak ditukar dengan tembaga. ilat dari keduanya adalah timbangan. Perak dn tembaga keduanya lazim diukur dengan timbangan. Maka seperti ini boleh dijual dengan sekehendak hati, dan tidak disyaratkan harus tunai. Juga tidak disyaratkan harus sama ukurannya. Seandainya kita menjual 2 kg tembaga dengan 1 kg perak dengan tempo tertentu maka ini diperbolehkan.
Emas dengan besi. Madzhab ini mengatakan bahwa ilatnya adalah timbangan. Oleh kerenanya tidak mengapa kita menjualnya sesuai dengan keinginan kita.
KAIDAH KEEMPAT

Tukar menukar An-Naqd (mata uang logam) atau antara uang kertas dengan uang kertas (atau barang logam dengan yang lainnya), jika sama jenisnya maka harus memenuhi dua persyaratan, yaitu (1) sama ukurannya dan (2) serah terima secara tunai. Adapun apabila berbeda jenisnya maka syaratnya hanya satu, yaitu serah terima secara tunai.

Contoh barang yang sejenis: Riyal saudi ditukar dengan riyal saudi. Contoh an Naqd dengan an Naqd ( para ulama apabila menyebutkan an Naqd maka yang dimaksudkan adalah emas dan perak ). Emas dengan emas.
Contoh yang berbeda jenis: Emas dengan perak. Maka dipersyaratkan harus tunai. Contoh lainnya adalah jika kita menjual emas dan uang lembaran. Keduanya berbeda jenis dengan ilat yang sama yaitu alat tukar. Maka disyaratkan harus tunai. Atau jika kita menjual perak dengan uang lembaran maka syaratnya adalah tunai.
KAIDAH KELIMA

Setiap barang ribawi yang berbeda ilatnya, maka tidak disyaratkan tunai, juga tidak disyaratkan sama ukurannya.

Jika kita menukar barang ribawi satu dengan yang lainnya padahal ilatnya berbeda maka tidak ada syarat apapun yang harus dipenuhi.

Riyal dengan kurma. Ilat dari riyal adalah alat tukar. Adapun kurma maka ilatnya adalah makanan yang lazim diukur dengan timbangan. Maka tidak ada syarat yang harus dipenuhi untuk saling menukarnya.
Gandum halus dengan emas. Gandum halus ilatnya adalah makanan yang lazim diukur dengan takaran. Adapun emas ilatnya adalah alat tukar.
Sya’ir (Gandum kasar) dengan perak. Maka tidak ada syarat untuk keduanya.
KAIDAH KEENAM

Tukar menukar barang ribawi dengan barang bukan ribawi, atau saling menukar antara barang bukan ribawi, maka tidak ada syarat yang harus dipenuhi.

Dalam kaidah ini ada 2 bentuk transaksi.

1. Tukar menukar antara barang ribawi dengan barang bukan ribawi, maka tidak ada syarat untuk keduanya.

Contoh:

Emas dengan pakaian.
Emas dengan buah jeruk,
Riyal dengan pakaian.
Tidak ada syarat dalam pertukaran ini. Kita boleh menjual sekehendak kita. Tidak harus sama, tidak pula harus tunai.

2. Tukar menukar barang bukan ribawi. Tidak dipersyaratkan apa-apa dan tidak ada ilat pada kedua barang tsb.

Contoh:

Pakaian dengan kitab –keduanya bukan barang ribawi-,
Mobil dengan buku,
Pakaian dengan rumah.
Ini semua bukan barang ribawi. Tatkala kita hendak menukar barang –ribawi dengan barang bukan ribawi atau dua-duanya bukan barang ribawi, maka tidak ada syarat yang harus dipenuhi.

KAIDAH KETUJUH

Perbedaan jenis atau kualitas bukan faktor yang diperhitungkan pada barang ribawi sejenis. Yang dipersyaratkan adalah persamaan ukuran dan harus tunai.

Tatkala hendak tukar menukar barang ribawi yang sejenis maka harus sama jumlah ukurannya dan tunai, meskipun terdapat perbedaan kualitas.

Contoh: Pertukaran antara kurma dengan kurma. Keduanya memiliki jenis yang sama. Maka wajib dilakukan secara tunai dan sama ukurannya. Jika satu sho’ maka ditukar dengan satu sho’. Meskipun salah satu kurma dengan kualitas bagus dan yang lainnya jelek, tetap tidak boleh kita mengatakan kita tukar 1 sho’ kurma macam yang ini dengan 2 sho macam yang itu. Perbedaan macam kurma tidaklah berpengaruh karena perbedaan macam pada jenis yang sama tidaklah berpengaruh.

Demikian pula kualitas. Ini kualitas bagus dan ini kualitas buruk. Ini kurma merek A berkualitas bagus dan ini kurma merek B berkualitas buruk. Meskipun ada perbedaan, yang satu kurma baru dan yang lainnya kurma lama, tetap harus sama ukurannya.

Keterangan ini berdasar pada hadits Abu Said tatkala mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Khaibar. Iapun datang dengan membawa kurma janiiib (kualitas baik ) yang masih baru. Nabipun bertanya, “Apakah semua kurma Khaibar seperti ini ?” para sahabat menjawab, “Tidak wahai Rasulullah. Kami mengambil satu sho kurma janiib dengan dua sho’ kurma al jam’u (kualitas buruk).” Nabi bersabda, “Jauhkan dia. Ini adalah salah satu jenis riba.”

Hadits ini menunjukkan bahwa perbedaan macam atau kualitas barang tidak berpengaruh selama masih dalam jenis yang sama.

Contoh:

Gandum. Gandum memiliki macam yang beragam. (al khintoh, al laqiimi, dan al Miayyah). Maka tatkala al khintoh ditukar dengan al khintoh harus secara tunai dan sama jumlahnya.
Daging. Apabila berbeda macamnya (sapi misalnya ) daging sapi irab dengan sapi jamuus, Apabila hendak ditukar antara ini dan itu selama keduanya masih sama-sama daging sapi maka harus secara tunai dan sama banyaknya.
Susu.
Daging kambing. Apabila ditukar daging domba dengan daging kambing namun dengan penambahan maka ini termasuk riba. Perbedaan macam kambing ini tidak dilihat dan hanyalah harus terpenuhi syarat tunai dan sama ukurannya.
KAIDAH KEDELAPAN

Setiap kondisi yang disyaratkan harus sama jumlah ukurannya maka harus benar-benar sama menurut ukuran standard yang diakui oleh syariat. Dengan takaran yang standard jika barang takaran dan dengan timbangan standard jika barang timbangan.

Kapan disyaratkan harus sama ukurannya? Yakni apabila pertukaran terjadi pada barang ribawi yang sama jenisnya. Apabila disyaratkan harus sama maka harus disamakan menurut ukuran standard syar’i. Tidak boleh dengan ukuran sembarangan. Karena barang-barang ribawi ini memiliki ukuran standard secara syar’i. Nabi bersabda, “Emas dengan Emas, seukuran dengan ukuran yang sama. Perak dengan perak, seukuran dengan ukuran yang sama.” Oleh karenanya apabila seseorang menukar 1 sho’ emas dengan 1 sho’ emas, hal ini termasuk riba meskipun kelihatannya sama. Mengapa demikian? karena tidak menggunakan ukuran standard yang diakui oleh syariat.

Seandainya kita ambil emas pertama yang diukur dengan sho’ (satuan volume) dan kita timbang dengan timbangan standardnya. Kemudian kita ambil emas kedua dan kita timbang dengan timbangan standardnya, tentu kita akan mendapatkan perbedaan.

Demikian halnya dengan barang lain. Apabila kita menimbang barang yang lazimnya ditakar (berdasar satuan volume) atau menakar barang yang lazimnya ditimbang (berdasar satuan berat) maka hal ini termasuk dalam praktek riba. Contohnya perak. Ukuran standard menurut syariat adalah dengan timbangan. Akan dijelaskan tentang kaidah ukuran standard. Insya Allah.

Tatkala 10 kg gandum ditukar dengan 10 kg gandum maka ini termasuk riba. Karena kita menggunakan ukuran timbangan (satuan berat). Padahal gandum ukuran standardnya adalah takaran (berdasar satuan volume). Adapun kg atau gram adalah ukuran timbangan (berat). Pertukaran ini harus diukur dengan standard syar’i. Gandum adalah barang yang lazim ditakar. Maka kita mengukurnya dengan alat ukur seperti sho’, wasq, mud dsb.

Adapun barang-barang timbangan diukur dengan alat timbangan seperti kg, gram, pound dll.

KAIDAH KESEMBILAN

Para pertukaran barang-barang ribawi, tidak dipersyaratkan menggunakan ukuran standard apabila tidak ada syarat harus sama ukuran jumlahnya.

Demikian pula pada pertukaran barang ribawi dengan barang bukan ribawi. Tidak dipersyaratkan menggunakan ukuran standard syar’i. Pada pertukaran barang ribawi dengan barang ribawi jenis lainnya, tidak dipersyaratkan harus dengan ukuran standard. Mengapa? karena beda jenis maka tidak dipersyaratkan harus sama jumlahnya.

Dipersyaratkan harus menggunakan ukuran standard syar’i apabila terjadi pada barang-barang yang dipersyaratkan harus sama ukurannya karena sama jenisnya. Adapun jika kita tukarkan barang ribawi dengan barang ribawi jenis lainnya maka kita boleh mengukurnya sesuai dengan kehendak kita. Baik pada barang-barang takaran maupun timbangan.

Contoh barang ribawi dengan barang ribawi jenis lain:

Pertukaran emas dengan kurma. Sama saja apakah dengan timbangan, takaran atau tidak diukur sama sekali. Kurma lazimnya diukur dengan takaran. Akan tetapi apabila hendak kita tukar dengan emas atau riyal maka tidak mengapa kita mengukurnya dengan timbangan. Begitu pula emas.
Gandum halus dengan gandum kasar. Keduanya lazim diukur dengan takaran. Selama tidak dipersyaratkan harus sama ukurannya maka tidak disyaratkan pula harus diukur dengan ukuran standard. Juallah 1 sho’ gandum kasar dengan 2 sho ‘ gandum halus. Atau 10 kg gandum kasar dengan 20 kg gandum halus. Atau juga 1 sho’ gandum kasar dengan 10 kg gandum halus. Diukur dengan timbangan atau takaran, semua boleh. Akan tetapi harus tunai.
Contoh pertukaran barang yang berbeda dan tidak sama jenisnya:

Kurma dengan riyal, maka hal ini tidak mengapa. Misalnya apabila kita membelinya dari pedagang kurma. Bukannya menakar, pedagang itu malah menimbangnya. Ini boleh. Mengapa demikian? Karena kita tidak diharuskan untuk menyamakan ukuran. Antara kurma dan riyal berbeda jenisnya.
Demikian pula contohnya apabila kita membeli beras. Kemudian diberikan 2 kg beras (bukan dengan ukurun sho’).Ini tidak mengapa. Kita tidak membeli barang ribawi yang sejenis, akan tetapi beda jenis. Dalam konteks ini, kita tidak dipersyaratkan harus menggunakan ukuran standard syar’i kerena kita tidak disyaratkan untuk menyamakan ukuran.
Begitu pula jika kita mengganti atau menukar barang ribawi dengan barang bukan ribawi. Atau tukar menukar barang yang bukan ribawi, maka tidak ada syarat menggunakan ukuran standard. Seperti kita menukar baju dengan baju.

Mengapakah para ulama mensyaratkan untuk menggunakan alat ukur yang standard? Tidak lain supaya terwujud kesamaan dengan sebenarnya. Nabi bersabda:

????? ???? ????? ?????

“Misal dengan semisalnya dan sama dengan persamaannya.”

Tidaklah terwujud persamaan ini kecuali dengan ukuran yang standard.

KAIDAH KESEPULUH

Barang apa saja yang dikenal oleh penduduk Madinah pada zaman nabi sebagai barang yang lazim diukur dengan takaran maka ia diukur dengan takaran. Barang apa saja yang dikenal oleh penduduk Makkah pada zaman nabi sebagai barang yang lazim diukur dengan timbangan maka dia diukur dengan timbangan selamanya hingga hari kiamat.

Kaidah inilah yang ingin kita jelaskan terkait dengan landasan penggolongan barang yang ditimbang atau barang yang ditakar. Persisnya tatkala kita hendak menukar barang ribawi yang sejenis sehingga dipersyarakan untuk sama berdasar ukuran standard syariat. Dari sini timbul pertanyaan, barang apa saja yang ukuran standarnya adalah timbangan? barang apa saja yang ukuran standardnya takaran? maka kita jelaskan, bahwasanya dalam kaidah ini terdapat patokan-patokan sbb:

Seluruh biji-bijian termasuk barang yang ditakar. Hal ini mencakup banyak barang seperti gandum halus, gandum kasar, jewawut, kacang, dsb.
Seluruh benda cair adalah barang yang ditakar (susu, yogurt, minyak, madu dsb.) maka tatkala hendak bertukar antara madu dengan madu, harus diukur dengan takaran. Begitu pula gandum dengan gandum, harus diukur dengan takaran pula.
Seluruh benda logam adalah barang yang diukur dengan timbangan seperti besi, tembaga, kuningan dsb. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi dan Hanbali. Yang benar, tidaklah berlaku hukum riba kecuali pada emas dan perak. Sedangkan menurut pendapat Syaikhul Islam, maka emas dan perak dan apa-apa yang termasuk alat tukar atau alat pembayaran.
Bulu dan sejenisnya termasuk barang-barang yang diukur dengan timbangan seperti wool, sutera, kapas dll. Segala hal yang menjadi bahan baku pakaian termasuk barang yang diukur dengan takaran.
Kurma dan sejenisnya termasuk barang yang diukur dengan takaran.
Kaidah mengatakan bahwa barang apa saja yang dikenal di kalangan penduduk Madinah pada zaman nabi sebagai barang takaran, maka barang itu dianggap barang yang diukur dengan takaran. Hal ini berlaku selamanya. Seperti biji-bijian dan benda-benda cair. Demikian pula setiap barang yang dikenal oleh penduduk Makkah pada zaman nabi sebagai barang timbangan maka dianggap sebagai barang yang diukur dengan timbangan selamanya. Seperti benda logam, emas, dan perak. Hal ini ditunjukkan oleh hadits nabi yang berbunyi, “Takaran itu dengan takarannya penduduk madinah dan timbangan itu dengan timbangannya penduduk Makkah.”

Sebagian ulama berkata, “Emas dan perak diukur dengan timbangan, adapun empat barang ribawi lainnya diukur dengan takaran. Adapun selainnya maka dikembalikan menurut kebiasaan masyarakat setempat.” Contoh, menukar sekantong beras dengan sekantong beras. Hal ini tidak boleh. Karena beras termasuk barang ribawi. Tidak boleh ditukar dalam keadaan belum diukur dengan ukuran standard syariat.

http://www.almoshaiqeh.com/index.php?option=content&task=view&id=10711&Itemid=8)
Dipublikasi ulang dari http://www.direktori-islam.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar