Rabu, 31 Maret 2010

DUA PULUH KAIDAH MEMAHAMI RIBA (II)

KAIDAH KESEBELAS

Setiap barang yang haram untuk dilebihkan haram pula untuk ditunda pembayarannya. Dan tidak berlaku sebaliknya.

Kapan barang diharamkan untuk dilebihkan? Yaitu tatkala sama jenisnya. Maka haram pula untuk ditunda pembayarannya.

Contoh, emas dengan emas. Haram untuk dilebihkan. Kita tidak boleh menjual 100 kg emas dengan 120 kg emas. Maka haram pula untuk ditunda pembayarannya. Kita tidak boleh menukar emas dan emas dengan tempo. Kaidah ini tidak berlaku untuk kasus sebaliknya. Terkadang haram untuk ditunda pembayarannya akan tetapi tidak diharamkan untuk dilebihkan. Seperti emas dan perak. Haram untuk menunda pembayaran, harus tunai, akan tetapi tidak haram untuk melebihkan salah satunya. Jadi boleh kita menjual 100 gr emas dengan 200 gr perak.

KAIDAH KEDUA BELAS

Bertambahnya hutang untuk menunda pembayaran (hutang berbunga) adalah riba.

Ini adalah praktek riba jahiliyyah. Sebagai gambaran, seseorang memberi hutang kepada orang lain. Saatnya tiba waktu pembayaran, ia mengatakan, “Pilih engkau lunasi hutangnya atau engkau tambah bunganya.” Seseorang menghutangi 100 gr emas. Saatnya pembayaran tiba, ia mengatakan, “Kamu lunasi atau engkau tambahi.” Penambahan jumlah ini dikerenakan penambahan tempo pembayaran.

KAIDAH KETIGA BELAS

Apabila terdapat keadaan yang membuat tidak sempurnanya sifat sama pada salah satu jenis barang ribawi disebabkan oleh jenis atau sebab lain maka tidak sah penggantinya.

Apabila pertukaran terjadi pada barang ribawi sejenis maka disyaratkan adanya persamaan atau serah terima secara kontan. Oleh karenanya apabila tidak sempurna persamaan jumlah barang disebabkan jenis barang itu sendiri atau sebab lain maka tidak sah pertukarannya.

Misalnya, tatkala kita menjual roti yang terbuat dari gandum dengan gandum. Disini terdapat cacat persamaan jumlah barang. Karena gandum diukur dengan takaran (ukuran volume) sedangkan roti tidak mungkin diukur dengan takaran. Akan datang penjelasan tentang hukum apabila barang-barang ribawi yang tidak lagi dapat diukur dengan timbangan atau takaran lantaran telah diproses menjadi produk lain. Apakah barang tersebut masih tetap termasuk barang ribawi atau telah berubah? disini terdapat perbedaan pendapat. Yang terpenting apabila kita menukar roti yang terbuat dari gandum dengan gandum, kita katakan bahwa persamaan jumlah disini tidak sempurna. Karena gandum diukur dengan takaran adapun roti tidak lazim diukur dengan takaran.

KAIDAH KEEMPAT BELAS

Dua barang yang terbuat dari satu bahan yang sama, maka keduanya adalah sejenis. Jenis adalah sesuatu yang memiliki nama khusus, mencakup berbagai macam/tipe. Adapun yang dimaksud Tipe/Macam mencakup semua item dengan karakter yang berbeda-beda.

Kaidah ini menerangkan pengertian jenis dan macam:

Gandum adalah jenis yang mencakup berbagai macam yang berbeda. Gandum ada beberapa macam. Seperti khintoh, laqimi, maiyah, dsb.
Kurma adalah jenis yang mencakup kurma ajwah, kurma sukari, kurma barkhi dsb.
Daging adalah jenis yang mencakup daging onta, daging kambing, daging sapi dsb.
Kambing adalah jenis yang mencakup domba, kibasy dsb.
Contoh kasus: al khintoh adalah macam dari jenis gandum. Jenisnya gandum, sedangkan macam/tipenya khintoh. Apabila kita memiliki sekantong gandum al khintoh, dan sekantong lagi gandum al khintoh. Kedua kantung ini macamnya sama, namun bisa berbeda pada dzatnya atau sifatnya. Maka macam barang mencakup atas item-item yang berbeda. Apabila memliki perbedaaan tipe/maca maka ini disebut jenis barang.

Contoh lain: Kurma as sukary. Kita punya 3 kantong kurma as sukary. Tiga kantong ini dinamakan macam. Mengapa? Karena sudah terpecah menjadi item-item yang berbeda.

Telah kita bahas bahwa pertukaran barang yang sejenis tidak melihat kepada perbedaan macam. Tatkala kita hendak menukar gandum dengan gandum, kita tidak melihat perbedaan macamnya. Jika kita menukar gandum khintoh dengan gandum laqiim atau maiyah maka tetap diharuskan tunai dan dalam jumlah yang sama. Apalagi jika barangnya semacam seperti khintoh dengan khintoh.

KAIDAH KELIMABELAS

Jenis barang yang bermacam-macam apabila dijual dengan jenisnya disyaratkan adanya kesamaan sifat yang dimaksudkan dalam akad.

Gandum halus jenis daqiiq apabila ditukar dengan gandum halus jenis daqiiq maka disyaratkan harus sama dalam tingkat kehalusannya. Tidak boleh menjual 1 sho’ gandum halus jenis daqiiq dengan 1 sho’ gandum halus jenis jurais – beda tingkat kehalusan-, karena tidak sama.

Tatkala kita membeli khintoh dengan khintoh atau maiyah dengan maiyah –macam gandum-, maka tidak ada pengaruh perbedaan macam selama masih dalam jenis yang sama. Atau tatkala kita membeli daging domba dengan daging kambing, maka ini tidak ada perbedaan, diharuskan sama dan tunai.

KAIDAH KEENAM BELAS

Bahan makanan yang sudah diubah menjadi produk lain bukan lagi termasuk barang ribawi. Akan tetapi sudah menjadi jenis barang tersendiri.

Kaidah ini berdasar pada pendapat Syaikul Islam. Adapun pendapat yang mashur dari madzhab Hanbali dan Hanafi bahwa hal itu tidak bersifat mutlaq. Ada dua keadaan:

Pertukarannya dengan jenis lain (meskipun bahan aslinya satu) maka ini boleh. Seperti pertukaran roti dengan bubur.
Pertukarannya dengan jenis yang sama. Seperti roti dengan roti, bubur dengan bubur. Maka dalam hal ini diharuskan sama.
Yang paling penting diperhatikan dari kaidah ini adalah: Apabila barang yang lazim ditakar atau ditimbang sudah berubah lantaran diolah menjadi produk baru, apakah masih tetap termasuk barang ribawi?

Menurut Syaikhul Islam: Barang timbangan atau takaran yang berubah lantaran diolah menjadi produk baru maka sudah bukan lagi barang ribawi meskipun dijual dengan yang sejenisnya.

Seandainya kita tukarkan 1 sho’ gandum yang sudah diubah menjadi roti dengan 2 sho’ gandum yang masih asli, maka hal ini boleh menurut Syaikhul Islam. Karena beliau mengatakan bahwa gandum yang sudah diolah menjadi roti bukan lagi termasuk barang ribawi meskipun kita jual dengan yang sejenisnya. Setiap yang diolah maka ia sudah tidak lagi termasuk barang ribawi.
Contoh lagi pada barang yang ditimbang -Syaikul islam tidak memandang adanya ilat pada barang yang ditimbang, beliau tidak memandang bahwa sebab barang masuk dalam kategori ribawi itu karena barang yang ditimbang. Seperti jika kita menjual bejana dari besi dengan besi. Maka besi yang sudah diolah menjadi bejana bukan lagi masuk barang ribawi. Sehingga boleh kita menjual ketel dari besi dengan besi mentah. Sama saja apakah dengan ukuran sama atau dilebihkan, tunai atau tempo, semuanya boleh dilakukan. Syaikhul Islam berpendapat, apabila barang sudah bukan lagi barang ribawi lantaran telah diolah menjadi produk lain maka tidak lagi berlaku hukum-hukum ribawi.
Pendapat yang masyhur dari madzhab Hanbali dan Hanafi adalah barang-barang ribawi yang ditakar apabila telah diolah menjadi produk lain maka tetap dalam statusnya barang ribawi. Tidak boleh tukar-menukar gandum dengan roti juga tidak boleh roti dengan roti kecuali dengan syarat harus sama jumlahnya. Roti ditukar dengan roti sah jika sama keringnya. Adapun roti dengan gandum hal ini tidak sah menurut madzhab ini.

Dalam hal barang-barang yang ditimbang, mereka memandang bahwa barang-barang yang sudah diolah menjadi produk lain bukan lagi barang ribawi. Maka boleh menukarkan 1 ketel dari besi dengan 2 ketel. Meskipun keduanya berasal dari besi. Mereka membedakan antara barang timbangan dan barang takaran. Adapun syaikul islam memandang bahwa setelah barang ribawi itu berubah menjadi barang bukan ribawi lantaran sudah diolah menjadi produk lain-baik yang ditimbang maupun yang ditakar- maka tidak lagi berlaku hukum ribawi.

KAIDAH KETUJUH BELAS

Tidak berlaku ongkos tambahan pembuatan dalam tukar menukar barang.

Kaidah ini berbeda dengan pendapat Syaikul Islam. Beliau berpendapat bahwa ongkos pembuatan berpengaruh. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa biaya tambahan untuk ongkos pembuatan tidak berpengaruh dalam pertukaran. Maka tatkala kita menukar emas yang telah dibentuk dengan emas yang belum dibentuk, kemudian diberikan tambahan biaya pembuatan maka hal ini termasuk dalam riba. Hal ini didasari oleh hadits Fudholah bin Ubaid bahwa dia membeli cincin dengan dinar yang ada mutiaranya. Maka tatkala hendak dilepaskan ada biaya tambahan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Jangan, hingga kamu melepaskannya.” Selain itu nabi juga bersabda, “Emas dengan emas yang setara. Perak dengan perak yang setara.”

Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama yaitu pembuatan tidaklah berpengaruh. Ini merupakan kebalikan dari pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jika kita menginginkan adanya tambahan dari ongkos pembuatan maka kita katakan bahwa ini tidak boleh dan jatuh kepada riba. Haditsnya jelas, “Emas dengan emas, perak dengan perak, yang sama dan semisal.”

KAIDAH KEDELAPAN BELAS

Menukar barang ribawi dengan sejenisnya yang terdapat pada salah satu atau keduanya barang lain yang tidak sejenis.

Para ulama menamainya sebagai masalah “ mud kurma ajwah dan dirham.” Ajwah merupakan salah satu jenis kurma madinah. Permasalahan yang dikenal dengan “mud kurma ajwah dan dirham” ini ada 2 gambaran:

Pertukaran barang ribawi dengan sejenisnya yang pada keduanya ada barang lain yang tidak sejenis.
Pertukaran barang ribawi dengan sejenisnya, pada salah satunya terdapat barang lain yang tidak sejenis.
Contoh gambaran A:
Menukar 1 mud kurma ajwah dengan 1 mud kurma ajwah. Pada keduanya terdapat barang lain yang tidak sejenis. Yang pertama ada dirhamnya yang kedua juga ada dirhamnya. Jumhur ulama mengatakan bahwa kasus seperti ini tidak boleh. Karena ada unsur tipu muslihat pada barang ribawi yang sejenis dengan penambahan. Syaikul Islam berpendapat boleh jika jumlah mud keduanya sama dan jumlah dirhamnya juga sama.

Contoh gambaran B:
Satu mud kurma ajwah yang disertai dirham dengan 2 mud kurma ajwah. Jumhur berpendapat tidak boleh. Adapun pendapat kedua mengatakan jika mud ditukar mud dan dirhamnya sebagai pembayaran atas kelebihannya, maka ini boleh.

Tatkala kita membeli perhiasan intan dari pembuatnya. Kita memberinya perhiasan lama, kemudian kita mengambil perhiasan baru. Pembuat perhiasan meminta kita harus menambah, apakah ini boleh? atau kita memberi 20 gr perhiasan lama dan mengambil 15 gr perhiasan baru yang sudah dibentu, apakah ini boleh?

Ini masuk dalam masalah “mud kurma ajwah dan dirham”. Karena kita telah menukar barang ribawi dengan sejenisnya, pada salah satunya terdapat uang dirham yang bukan dari jenisnya, menurut jumhur ulama ini boleh. Menurut Syaikhul Islam apabila tambahannya sebagai biaya pembuatan barang maka hal ini boleh. Akan tetapi pendapat yang benar adalah tidak boleh menukar karena hadits telah jelas menerangkan, “Emas dengan emas…” demikian pula kisah Fudholah ketika membeli cincin yang ada mutiaranya dengan dinar maka Nabi bersabda, “Jangan, sampai kamu lepaskan mutiaranya.” maka yang benar menukar barang ribawi dengan jenisnya tidak dibenarkan adanya tambahan. Harus sama antara keduanya dalam timbangan. Tidak berpengaruh ongkos pembuatan. Sebagaimana kami jelaskan sebelumnya, bahwa macam barang itu tidak berpengaruh apa-apa. Solusinya, kita jual perhiasan lama kita dan kita tahan dirhamnya, baru kemudian uangnya kita gunakan untuk membeli yang baru. Akan tetapi yang menjadi masalah, sebagian pembuat perhiasan itu mengatakan, “Aku akan membeli darimu dengan syarat kamu nanti harus membeli dariku.” Maka kita katakan, disini kita terjatuh dalam riba, yaitu emas ditukar emas dengan tambahan. Karena syaratnya adalah kita menjual kepadanya dan kitapun harus membeli darinya. Ini seolah-olah kita menukar emas dengan emas dengan harga tambahan. Imam Ahmad mengatakan, “Engkau jual barangmu dan ambil harganya. Lalu cari tempat lain. Ini dilakukan untuk menghindari syubhat riba. Jika ternyata tidak menemukan tempat lain yang bisa memenuhi kebutuhan kita maka tidak mengapa kembali ke tempat semula.”

KAIDAH KESEMBILAN BELAS

Keraguan terhadap kesamaan ukuran dihukumi seperti adanya penambahan.

Jika terjadi keraguan apakah ukuran barang sudah sama atau belum, maka dianggap adanya penambahan. Dengan demikian wajib bagi kita memastikannya dengan menggunakan ukuran standard syariat. Tidak mengetahui bahwa barang itu seukuran sama saja artinya dengan mengetahui bahwa barang itu ada kelebihan.

KAIDAH KEDUAPULUH

Apakah cek atau giro dapat mengantikan uang dalam pembayaran?

Ini adalah permasalahan modern yang terjadi tatkala menukar barang yang mengharuskan pembayaran tunai. Contoh emas dengan riyal. Ketika hendak membeli emas, kita diharuskan untuk membayar tunai karena bertemunya 2 barang ribawi. Kitapun lantas memberikan cek sebagai ganti uang riyal. Apakah cek ini bisa menggantikan posisi uang secara syariat? Para ulama kontemporer berbeda pendapat.

Sebagian mereka berpendapat bahwa cek bisa menggantikan uang. Penggunaan cek untuk jual beli telah menjadi kebiasaan manusia zaman ini. Maka cek menggantikan dirham. Maka tatkala kita membeli emas dan kita menyerahkan cek, hukumnya boleh.

Pendapat sebagian yang lainnya adalah bahwa cek tidak dapat menggantikan dirham. Tatkala kita membeli emas atau perak atau pounds dengan riyal Saudi, tidak cukup dengan memberikan cek. Karena pemberian cek tidak dianggap sebagai pembayaran tunai. Alasannya yaitu apabila cek ini hilang atau terbakar apakah akan kembali kepada yang memberi cek atau tidak? jawabnya adalah kembali. Ini menunjukkan bahwa cek tidaklah tunai. Berbeda keadaannya apabila dalam posisi dirham. Jika kita mengambil emas dan kita beri 1000 riyal dan ternyata hilang atau terbakar riyal itu, apakah dianggap tunai? jawabnya iya. Apakah akan kembali kepada yang punya? jawabnya tidak. Adapun cek akan kembali. Ini menunjukkan cek tidak dianggap kontan.

Pendapat ketiga mengatakan hal ini perlu perincian. Jika ceknya asli maka boleh. Jika ceknya kosong maka tidak boleh. Karena cek asli senilai dengan harga yang tercantum. Dan pendapat ketiga inilah yang lebih dekat kepada kebenaran. Allahu a’lam.

http://www.almoshaiqeh.com/index.php?option=content&task=view&id=10711&Itemid=8
Dipublikasi ulang dari http://www.direktori-islam.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar