(Vibiznews – Syariah) - Bank Indonesia baru saja mengeluarkan Peraturan BI No 6/17/PBI/2004 tentang BPR berdasarkan prinsip syariah yang dimaksudkan sebagai pengganti SK Dir BI No 32/36 tahun 1999 dan Bab X SK Dir BI No 35/36 tahun 1999. Pada PBI ini, BI memperkenalkan istilah baru 'transaksi jual beli dengan prinsip murabahah', 'transaksi sewa menyewa dengan prinsip ijarah', suatu istilah yang tidak dikenal selama ini dalam UU maupun peraturan BI lainnya.
Bahasan yang menjadi topik pada artikel kali ini adalah konsep ijarah. Pembiayaan dengan prinsip sewa (ijarah) serupa dengan pembiayaan dengan prinsip jual beli, yang menjadi pembeda disini, objeknya dapat berupa manfaat/jasa. Pada ijarah hanya terjadi perpindahan manfaat bukan perpindahan kepemilikan.
Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional, pembiayaan ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang. Bagi pihak yang menyewakan, diharuskan mempersiapkan barang/jasa yang disewa dan bagi pihak yang menyewa barang atau jasa wajib memelihara barang yang disewa.
Pada tatanan hukum Indonesia dikenal beberapa jenis transaksi yang mirip dengan pembiayaan ijarah. Pertama, sewa beli yang dilakukan berdasarkan KUH Perdata 1338. Kedua, sewa menyewa berdasarkan KUH Perdata buku ketiga. Ketiga, leasing berdasarkan KMK No 122/1974 dan berbagai peraturan berikutnya. Keempat, pembiayaan ijarah berdasarkan UU No 10/1998.
Keraguan yang muncul saat ini adalah, apakah sewa menyewa (ijarah) masuk kedalam unit usaha perbankan syariah? PAPSI menjelaskan dalam bab 1 bahwa fungsi bank syariah ada empat sebagai manajer investasi, investor, penyedia jasa keuangan, dan lalu lintas pembayaran serta pengemban fungsi sosial.
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Bila pada jual beli obyek transaksi adalah barang, maka pada ijarah obyeknya jasa. Pada akhir masa sewa, bank dapat menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Harga jual dan harga sewa disepakati pada awal perjanjian
Ijarah yang dilakukan pada perbankan syariah memang tidak sama dengan ijarah yang dikenal dalam kitab fiqih ijarah yang lazimnya dijelaskan dalam kitab fiqh hanya melibatkan dua pihak penyewa dan yang menyewakan. Metodepembayarannya dapat dilakukan tunai (naqdan) atau cicilan (majjal).
Sedangkan, pada perbankan syariah terdapat dua akad ’ijarah yang melibatkan tiga pihak. Ijarah pertama dilakukan tunai antara bank (sebagai penyewa) dengan yang menyewakan jasa. Ijarah kedua dilakukan secara cicilan antara bank (sebagai yang menyewakan) dengan nasabah bank..
Contoh aplikasi dari ijarah pada perbankan syariah adalah Investor A ingin menyewa kantor selama setahun. Maka Investor A dapat mengajukan pembiayaan ijarah ke Bank Syariah. Setelah Investor A menyetujui syarat dari Bank Syariah mengenai jenis kantor, tarif sewa, periode sewa, dan biaya pemeliharaan. Setelah akad atau perjanjian ditandatangani, Bank Syariah akan membeli atau menyewa kantor kepada pemilik kantor serta menyerahkan kantor tersebut kepada Investor A untuk digunakan sampai dengan masa sewa berakhir.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar